Senin, 05 April 2010

Negara Kebangsaan(Nasionalisme) yang sekarat Part I

Bangsa dan negara adalah konsep politik, yang tegas dan jelas, kalau kedua konsep ini dipisahkan satu sama lain. Namun, bila keduanya disatukan menjadi negara bangsa atau negara kebangsaan, konsep ini menjadi tidak terlalu jelas lagi. Menjadi makin kabur, jika konsep negara kebangsaan itu dimengerti dalam rangka nasionalisme. Memang bangsa dan negara adalah konsep politik yang bisa bersaing satu sama lain. Suatu bangsa bisa meliputi beberapa negara, Sebaliknya suatu negara bisa mencakup beberapa bangsa,.

Sejarah Negara Kebangsaan yang kabur
Hutington, penulis buku terkenal The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order, menuturkan, bangsa-bangsa dan negara-negara itu berbeda secara mendasar. Bangsa-bangsa adalah masyarakat etnis atau budaya, sumber jati diri untuk masyarakat. Negara-negara adalah institusi politik, sumber dari kekuasaan. Tidak ada alasan dalam logika atau pengalaman tentang mengapa sumber-sumber identitas dan kewenangan harus bertemu, dan hal itu belum pernah terjadi selama sejarah manusia.
Jika bangsa-bangsa sedang mencari jati dirinya, sementara negara yang menghimpun mereka tak mampu memberi jawabnya, bisa dibayangkan, bahwa negara kebangsaan akan kolaps. Dengan ancaman pluralisme peradaban dewasa ini, tepat bila Hutington menyebut institusi negara berbangsa itu sekarang berada dalam keadaan sekarat.
Hobsbawm mengatakan, negara kebangsaan sering hanya merupakan idiologi belaka tanpa kebenaran sejarah. Pikiran di balik ideologi adalah pikiran yang anakronistis: sekarang demikian, maka dulu juga demikian, padahal dulu tidak demikian.
Penulisan sejarah anakronistis itu juga dapat kita jumpai dalam rangka pembentukan negara kebangsaan dan nasionalisme kita. Paling mencolok adalah tulisan Muhammad Yamin, yang menuturkan bahwa kesatuan itu ada sejak Sumpah Palapa Gajahmada tahun 1331. Dokumen yang membenarkan hal tersebut adalah buku Nagarakretagama, yang ditulis pada tahun 1365. Dengan amat anakronistis, Yamin bahkan mengatakan, bahwa anggapan Nagarakretagama itu lebih tua lagi daripada tahun 1365, malahan negara kebangsaan Indonesia sudah ada sejak zaman purbakala.
Konteks penulisan sejarah Yamin ini jelas, yakni perjuangan membentuk nasionalisme demi kemerdekaan. Konteks tersebut membutuhkan legitimasi. Dan Yamin membuat suatu legitimasi yang meyakinkan, walau legitimasi tersebut jauh dari kebenaran dan kenyataan historis empiris. Dalam pemikiran Hobsbawm, penulisan Yamin ini mau tak mau harus digolongkan dalam kebohongan sejarah yang harus dibongkar. Pembongkaran itu mungkin berakibat pahit bagi konsep negara kebangsaan. Namun, jika pembongkaran itu tidak dilakukan, kita tidak pernah sampai pada dasar sesungguhnya dari pembentukan negara nasional.
Apakah dasar dari pembentukan negara kebangsaan kita? Adakah dasar pembentukan negara kebangsaan kita suatu kenyataan atau suatu ide? Ide apakah gerangan yang terkandung dalam kebangsaan kita? Sekelumit penjelajahan sejarah kita di bawah ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Kebangsaan sebagai konsep politik
Dalam sejarah Indonesia, periode paling jelas yang menandai lahirnya negara kebangsaan adalah periode pegerakan nasional. Pada saat itu belum tampak sama sekali konsep negara kebangsaan. Yang menonjol hanyalah konsep kebangsaan. Dan kebangsaan sendiri bukan dimengerti sebagai himpunan suku-suku, melainkan sebagai semacam "transendensi atas suku-suku", sesuatu yang mengatasi suku-suku. Benih ini tampak, misalnya, dalam perjuangan perkumpulan Budi Utomo.
Semula perkumpulan Budi Utomo adalah "organisasi orang Jawa". Kemudian ketentuan ini diperluas menjadi organisasi Jawa umumnya, termasuk Madura (Lihat: Akira Nagazumi: Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Budi Utomo 1908-1918, 1989). Tujuannya adalah emansipasi orang Jawa dan Madura. Dalam perjalanan selanjutnya, pengertian ini dirasa terlalu sempit. Betul bahwa anggota Budi Utomo adalah kaum priyayi Jawa. Akan tetapi, apakah dengan demikian tujuannya hanyalah untuk mengemansipasikan orang Jawa? Tidakkah organisasi itu juga perlu untuk mengusahakan "persatuan seluruh Hindia"?
Atas dasar pertanyaan tersebut, Budi Utomo sendiri kemudian terpecah dalam dua kubu, kubu yang membela Jawanisme dan kubu yang memperjuangkan cita-cita kesatuan Hindia Belanda. Mereka yang pro- Jawanisme cenderung memandang kultur Jawa sebagai basis persatuan mereka. Kubu lawannya adalah mereka yang memandang kesatuan Hindia sebagai cita-cita mereka, dan tak bisa menerima homogenitas etnis atau kultural sebagai basis persatuan mereka. Bagi kubu yang kedua ini, persatuan Hindia tak mungkin dimengerti sebagai persatuan kultural. Persatuan Hindia harus dilihat sebagai persatuan politik dan harus diupayakan lewat kegiatan politik pula.(Ibid. hlm. 93)
Dalam kasus Budi Utomo ini tampak benih awal problem kebangsaan kita. Kebangsaan kita tak mungkin dimengerti sebagai himpunan keragaman kultural dan etnis yang de facto ada, melainkan sebagai persatuan yang dicita-citakan dari keragaman tersebut. Persatuan tersebut de facto belum ada, karena itu harus diupayakan lewat suatu kegiatan politik.
Dari uraian di atas tampak, bahwa kebangsaan bukanlah himpunan keragaman kultural belaka. Kebangsaan adalah suatu konsep politik, yang perwujudannya hanya bisa diraih lewat upaya-upaya politik pula. Dan upaya politik paling penting adalah menciptakan keadilan sosial, tegasnya keberpihakan pada mereka yang lemah.

by YasiR

Bersambung ..… (tunggu edisi ke-3) !!!

Kamis, 24 September 2009

mading

runggu taanggal mainnya

mading

runggu taanggal mainnya